Monday, March 31, 2014

Ayo Buang Sampah Pada Tempatnya!



Berbicara tentang sampah memang tidak bisa serta merta begitu saja. Perlu beberapa kali untuk meyakinkan teman-teman saya, bahwa masalah yang dianggap sepele ini sejatinya merupakan hal yang serius. Kalau boleh saya mengecam, maka orang yang akan saya kecam adalah mereka yang terdidik tapi tetap membuang sampah tidak pada tempatnya. Kenapa bisa? Jawabannya sederhana. Kita sebagai kaum yang merasakan kemerdekaan mendapatkan pendidikan adalah yang paling bertanggung jawab dalam membawa perubahan pada negeri ini. Bukan justru generasi sampah yang mengotori.

 Jadi begini, sikap saya yang tegas terhadap orang-orang ‘bandel’ yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya memang sedikit banyak diilhami setelah saya mendapatkan kesempatan “berguru” singkat di negeri matahari terbit. Budaya masyarakat ‘Nihonjin’ atau orang Jepang yang jempol abis membuat saya terkesima dan ingin mengaplikasikannya pada orang-orang di sekitar saya. Betapa tidak, selama delapan hari disana saya tidak pernah menjumpai ada kotoran atau sampah berceceran di jalan, apalagi tempat umum yang berjubel manusia. Toilet di tempat umum manapun selalu dalam keadaan bersih dan rapih. Orang Jepang nampaknya sadar betul bahwa kesadaran terhadap lingkungan akan sangat mempengaruhi kelanjutan hidup mereka. Padahal, tidakkah kita sadar bahwa sebagian besar mereka adalah penganut Atheis alias tidak beragama. Bandingkan dengan kita yang mayoritas muslim, bahkan Negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Adakah hubungannya?

Jalanan di Tokyo, tidak pernah ada kotoran berceceran

Islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh umat manusia. Rasulullah pun mengajarkan kepada kita bahwa “An-nadhofatu minal iman” yang artinya “Kebersihan adalah sebagian dari Iman”. Secara implisit pernyataan diatas bisa kita negasikan sehingga bermakna siapa yang tidak bersih (tidak memelihara kebersihan) maka dia tidak beriman. Nah lho, masih mau buang sampah sembarangan? Banyak lho dampak yang Anda sumbangkan kalau sampah dibiarkan berceceran begitu saja.

  1.  Lingkungan tidak asri, tidak enak dipandang, dan terkesan kumuh
  2. Penyebab bakteri yang menjadi ladang mewabahnya penyakit.      
  3.  Jika sampah anorganik, maka tidak bisa diuraikan oleh tanah sehingga akan menumpuk dan merusak lingkungan biotik
  4. Secara sosial menunjukkan bahwa kita adalah masyarakat yang tidak berbudaya
  5. Jika terus menerus terjadi, jangan salahkan kalau banjir kemudian terjadi

Kemudian bolehkah saya bertanya, siapakah gerangan yang harus dipersalahkan? Apakah keyakinan kita kepada Tuhan justru melunturkan sikap-sikap terpuji yang diwajibkan?

Yuk buang sampah pada tempatnya! ilustrasi gambar oleh
 
pm70reguler.blogspot.com
Terlepas dari Jepang merupakan Negara maju dengan pembangunan yang tergolong merata, inilah saatnya bagi kita untuk berkaca dan berintrospeksi. Apa yang salah, kita renungi sama-sama dan tarik benang merah. Siapapun Anda, tolong sekali lagi sadarlah untuk membuang sampah di tempat sampah. Jika dalam perjalanan tidak terdapat tempat sampah di sekitar, maka simpanlah dulu sampah Anda di tas atau saku baju hingga Anda menemukannya. Sangat sederhana kan?

Sunday, March 2, 2014

12 Years A Slave : Kisah Pilu Para Budak Kulit Hitam Di Amerika


Chiwetel Ejiofor sukses memerankan Solomon Northup dalam film berdurasi 134 menit ini. 12 years a slave mengisahkan kisah nyata Solomon Northup yang semula merupakan seorang yang merdeka kemudian diculik untuk dijadikan budak tak berharga. Ia piawai bermain biola dan paham aksara. Anaknya, Margareth dan Alonso masih remaja.

Kisah panjang perbudakan ini bermula ketika Solomon ditawari suatu pekerjaan menjadi pemain biola, atau katakanlah pemusik dalam sebuah pertunjukan yang dipromotori oleh dua lelaki kulit putih bernama Hamilton dan Brown. Singkat cerita, rupanya ia dijebak kemudian dijual sebagai budak. Solomon dianggap Platt, seorang budak negro yang wajah dan ciri-ciri fisik lainnya serupa.

12 tahun ia jalani sebagai budak yang rela dicambuk jika membangkang dan harus selalu patuh pada tuannya. Dua belas tahun pula ia tidak bertemu keluarga, termasuk Margareth dan Alonso yang sangat dikasihinya. Solomon ialah satu dari sekian juta kaum negro yang dijadikan komoditi. Pertama dia dijual kepada Mister Ford untuk jadi buruh penebang kayu, berikutnya ia dijual kembali pada juragan kapas bernama Mister Epps, sebelum dipindahtangankan semetara pada Hakim Turner dan kembali lagi ke Mister Epps. Perjuangan Solomon menggapai kemerdekaan untuk dirinya dimulai saat ia bertemu Bass yang diperankan oleh Brad Pitt. Ia meminta Bass mengirim surat ke kampung halamannya untuk membawa sertifikat yang menunjukkan jika Solomon adalah orang yang merdeka. Tak lama, Solomon dijemput dan ia kembali pada keluarganya.

Film ini membuka mata penonton tentang betapa sadisnya kaum kulit putih pada masa itu. Mereka tanpa tega memperbudak kaum negro sesuka hati. Sistem perbudakan menganggap budaknya ialah properti milik pribadi yang tidak boleh diganggu gugat serta bebas bertindak terhadap budak yang ia beli. Kekejaman kaum kulit putih tergambar dengan jelas dalam untaian scene pada film ini. Menilik ke belakang, satu dua abad terakhir memang merupakan waktu tersulit bagi kaum kulit hitam. Politik aoartheid memaksa mereka menjadi pecundang yang tidak dihargai, tak punya kuasa dan dikontrol oleh kaum adidaya.
Film besutan Steve McQueen ini kini ramai diperbincangkan berkat berbagai prestasi yang diraihnya dalam setiap perhelatan Festival Film. Yang terkini, 12 Years a Slave berhasil memposisikan diri sebagai film dengan Sembilan nominasi dalam Piala Oscar tahun ini yang akan digelar 2 Maret 2014. Termasuk di dalamnya kategori Film Terbaik dan Pemeran Utama Pria Terbaik. Akankah 12 years a slave mendapatkannya? Kita lihat saja.